Dalil tentang haidh
Haidh sudah barang tentu menjadi kodrat bagi wanita yang tidak bisa dihindari dan sangat erat kaitannya dengan aktifitas ibadahnya sehari-hari. Konsep haidh dalam fiqih tidak dibangun di atas spekulasi, melainkan berlandaskan pada dalil-dalil normatif dari Al-Qur'an dan As-Sunnah. Dalil-dalil ini secara sinergis untuk membentuk sebuah kerangka hukum yang seimbang dan komprehensif.
Dalil utama dari Al-Qur'an adalah firman Allah SWT dalam Surat Al-Baqarah ayat 222:
وَيَسْـَٔلُوْنَكَ عَنِ الْمَحِيْضِۗ قُلْ هُوَ اَذًىۙ فَاعْتَزِلُوا النِّسَاۤءَ فِى الْمَحِيْضِۙ وَلَا تَقْرَبُوْهُنَّ حَتّٰى يَطْهُرْنَۚ فَاِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوْهُنَّ مِنْ حَيْثُ اَمَرَكُمُ اللّٰهُۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
"Mereka bertanya kepadamu (Nabi Muhammad) tentang haid. Katakanlah, “Itu adalah suatu kotoran.” Maka, jauhilah para istri (dari melakukan hubungan intim) pada waktu haid dan jangan kamu dekati mereka (untuk melakukan hubungan intim) hingga mereka suci (habis masa haid). Apabila mereka benar-benar suci (setelah mandi wajib), campurilah mereka sesuai dengan (ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri".
Kata kunci dalam ayat ini adalah adzan, yang secara bahasa berarti kotoran atau sesuatu yang tidak disukai. Penetapan status haidh sebagai adzan inilah yang menjadi landasan hukum bagi adanya larangan-larangan ibadah ritual (seperti shalat dan puasa) dan interaksi tertentu (seperti hubungan suami istri) selama periode haidh. Ayat ini secara efektif menetapkan konsekuensi hukum dari kondisi haidh.
Namun, untuk mencegah pemahaman ekstrem bahwa haidh adalah sebuah kenistaan, syariat Islam memandang haidh sebagai sebuah ketetapan alamiah (thabi'ah) dan fitrah yang telah ditentukan oleh Allah SWT bagi kaum wanita dari keturunan Adam. Sebagaimana ditegaskan dalam sebuah hadits masyhur, ketika Aisyah radhiyallahu 'anha mengalami haidh saat menunaikan ibadah haji, Rasulullah SAW menenangkannya dengan bersabda, “Ini adalah sesuatu yang Allah tetapkan bagi para wanita”.
هذا شيء كتبه الله على بنات آدم
Ini (haidh) merupakan sesuatu yang telah ditakdirkan Allah kepada cucu-cucu wanita Adam.
Penegasan ini secara fundamental membedakan pandangan Islam dari tradisi-tradisi lain yang mungkin memandang menstruasi sebagai sebuah kenistaan atau kutukan yang menuntut isolasi total terhadap wanita. Islam menempatkannya sebagai bagian normal dari siklus kehidupan yang diatur secara bijaksana oleh syariat, bukan sebagai kondisi yang merendahkan martabat wanita.
Pada masa jahiliyah, haidh dianggap sesuatu yang menjijikkan. Pada masa itu, orang Yahudi tidak memperlakukan istrinya yang sedang haidh secara manusiawi. Mereka mengusirnya dari rumah, tidak mau mengajak tidur dan makan. Sementara, orang Nasrani mempunyai kebiasaan menggauli istrinya di saat Haidh.
Hal ini mendorong para sahabat utk menanyakan tentang hukum² haidh, sehingga turunlah Al-Quran Surat Al-Baqoroh ayat 222.
Dari sinilah, kemudian para ulama merumuskan hukum-hukum yang terkait dengan haidh. Selain itu, imam Syafi'i dalam merumuskannya, tidak hanya berlandaskan pada Al-Quran dan Hadits, akan tetapi beliau juga mengadakan penelitian pada beratus-ratus wanita dari berbagai daerah dan taraf ekonomi yang berbeda untuk menyimpulkan hukumnya.
Tafsir Wajiz Surat Al-Baqarah ayat 222:
Pada ayat ini Allah memberi tuntunan perihal aturan-aturan dalam menjalin hubungan suami-istri. Dan mereka, para sahabat, menanyakan kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang haid. Pertanyaan ini diajukan para sahabat ketika melihat pria-pria Yahudi menghindari istri mereka dan tidak mau makan bersama mereka ketika sedang haid, bahkan mereka pun menempatkan para istri di rumah yang berbeda. Ayat ini kemudian turun untuk menginformasikan apa yang harus dilakukan oleh suami ketika istrinya sedang haid. Katakanlah, wahai Rasulullah, bahwa haid itu adalah sesuatu, yakni darah yang keluar dari rahim wanita, yang kotor karena aromanya tidak sedap, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan menimbulkan rasa sakit pada diri wanita. Karena itu jauhilah dan jangan bercampur dengan istri pada waktu haid. Dan jangan kamu dekati mereka untuk bercampur bersamanya sebelum mereka suci dari darah haidnya, kecuali bersenang-senang selain di tempat keluarnya darah. Apabila mereka telah suci dari haid dan mandi maka campurilah mereka sesuai dengan ketentuan yang diperintahkan Allah kepadamu jika kamu ingin bercampur dengan mereka. Sungguh, Allah menyukai orang yang tobat dari segala kesalahan yang diperbuatnya dan menyukai orang yang menyucikan diri dari kotoran lahiriah dengan mandi atau wudhu.
Ayat dan Hadits di atas, merupakan gambaran sebagai jawaban tentang hukum-hukum yang terkait dengan haidh. Di mana wanita harus diperlakukan sebagaimana mestinya.