Hukum Belajar Ilmu Haidh
Mengingat permasalahan haid selalu bersentuhan dengan rutinitas ibadah setiap hari, maka seorang wanita dituntut untuk memahami hukum-hukum permasalahan yang dialaminya, agar ibadah yang ia lakukan sah dan benar menurut syara'. Untuk mengetahuinya tidak ada jalan lain kecuali dengan belajar.
Hukum Mempelajari Ilmu Haid
Hukum Bagi Perempuan
Para ulama dalam Mazhab Syafi'i secara konsensus memfatwakan bahwa hukum mempelajari seluk-beluk fikih darah wanita (haid, nifas, dan istihadhah) adalah fardhu 'ain (فرض عين) bagi setiap wanita yang telah mencapai usia baligh.
Fardhu 'ain adalah status hukum untuk sebuah kewajiban yang melekat pada setiap individu Muslim (mukallaf) dan tidak akan gugur meskipun sudah ada orang lain di dalam komunitasnya yang telah melaksanakannya. Ini berbeda dengan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) yang kewajibannya gugur dari mayoritas jika sudah ada sebagian yang mengerjakannya. Argumentasi yang mendasari penetapan status fardhu 'ain ini berdiri di atas beberapa pilar yang saling menguatkan:
Keterkaitan Langsung dengan Sahnya Ibadah: Pengetahuan tentang haid adalah prasyarat (muqaddimah) mutlak untuk keabsahan ibadah-ibadah pilar seperti shalat dan puasa. Tanpa ilmu ini, seorang wanita tidak akan mampu menentukan kapan ia wajib shalat dan kapan ia haram melakukannya, kapan ia harus berpuasa dan kapan puasanya batal.
Dalam kaidah ushul fikih, terdapat sebuah adagium yang sangat populer: "مَا لَا يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلَّا بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ" (Sesuatu yang tanpanya sebuah kewajiban tidak akan sempurna, maka hukumnya pun menjadi wajib). Karena kesempurnaan dan keabsahan Shalat dan puasa bergantung pada pengetahuan tentang haid, maka mempelajari ilmu haid itu sendiri menjadi wajib.
Aplikasi Dalil Umum tentang Menuntut Ilmu: Hadis umum "طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ" (Menuntut ilmu adalah kewajiban) ditafsirkan oleh para ulama tidak mencakup semua cabang ilmu. Kewajiban yang bersifat fardhu 'ain dalam hadis ini merujuk pada ilmu yang dibutuhkan oleh seorang individu untuk dapat menjalankan kewajiban agamanya pada saat itu juga ('ilmu al-hal). Bagi seorang wanita yang sudah mengalami haid, ilmu tentang thaharah dari haid adalah bagian tak terpisahkan dari 'ilmu al-hal yang wajib ia ketahui.
Setiap wanita wajib keluar dari rumah untuk mempelajari hal tersebut. Dan bagi suami atau mahram tidak boleh mencegahnya, ketika mereka tidak mampu mengajarinya. Jika mampu, maka wajib bagi mereka memberi penjelasan, dan diperbolehkan baginya untuk mencegah wanita tersebut keluar dari rumah1.
Ketidaktahuan terhadap hukum-hukum ini membawa konsekuensi serius. Jika seorang wanita tetap shalat dan puasa karena tidak tahu bahwa darah yang keluar adalah darah haid (misalnya, pada pengalaman haid pertama), maka ibadahnya dianggap tidak sah dan ia tidak mendapatkan pahala. Sebaliknya, jika ia meninggalkan Shalat selama berhari-hari karena mengira darahnya adalah haid padahal sesungguhnya adalah darah istihadhah, maka ia telah berdosa karena meninggalkan kewajiban shalat dan wajib mengqadha seluruh shalat yang ditinggalkannya.
Hukum Bagi Laki-laki
Mengingat permasalahan haidh, nifas, dan istihadhoh tidak bersentuhan langsung dengan rutinitas ibadah kaum laki-laki, maka hukum asal bagi seorang laki-laki untuk mempelajari seluk-beluk ilmu haid adalah fardhu kifayah. Ini berarti, kewajiban ini bersifat kolektif bagi komunitas Muslim. Jika di dalam suatu wilayah sudah ada sebagian orang (ulama atau ahli fikih) yang telah mempelajarinya secara mendalam dan mampu menjawab persoalan-persoalan yang muncul, maka kewajiban tersebut gugur bagi laki-laki lainnya. Dalam status ini, ilmu haid diposisikan sebagai sebuah pengetahuan spesialis yang menjadi sumber daya komunal.
Namun, status hukum ini tidaklah statis. Ia dapat berevolusi menjadi fardhu 'ain (kewajiban individual) apabila pengetahuan tersebut berkaitan secara langsung dengan kewajiban pribadi seorang laki-laki. Pemicu utama yang mengubah status hukum ini adalah ikatan pernikahan. Bagi seorang suami, mempelajari dasar-dasar ilmu haid menjadi fardhu 'ain. Perubahan ini berakar pada peran dan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan penanggung jawab (qawwam) dalam keluarga, yang mencakup tanggung jawab atas kesejahteraan spiritual dan keabsahan ibadah anggota keluarganya.
Tanggung jawab suami yang telah berstatus fardhu 'ain ini termanifestasi dalam dua peran utama: sebagai pendidik atau sebagai fasilitator. Syariat Islam memberikan solusi berlapis yang menempatkan tanggung jawab pendidikan agama dalam keluarga secara primer di pundak suami.
Kewajiban Mengajar: Jika seorang suami memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum haid, nifas, dan istihadhah, maka ia dikenai hukum wajib untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada istrinya. Ini adalah bentuk konkret dari tanggung jawab kepemimpinannya dalam membimbing keluarga menuju ketaatan.
Kewajiban Memberi Izin dan Fasilitas: Apabila suami tidak memiliki pengetahuan tersebut atau tidak mampu mengajarkannya dengan baik, kewajiban primernya memang tidak terpenuhi, namun kewajiban sekundernya menjadi aktif. Ia wajib hukumnya untuk mengizinkan istrinya keluar rumah guna belajar kepada seorang guru, ustadzah, atau ulama yang ahli dalam bidang ini. Kewajiban ini tidak berhenti pada pemberian izin semata. Sebagian ulama bahkan merincikan bahwa suami wajib membiayai proses belajar istrinya tersebut, karena ini termasuk dalam kategori nafkah pendidikan untuk urusan agama yang esensial.
Larangan Menghalangi: Konsekuensi logis dari kewajiban di atas adalah haram hukumnya bagi seorang suami untuk melarang atau menghalang-halangi istrinya dalam menuntut ilmu haid, jika ia sendiri tidak mampu menyediakannya. Dalam hierarki hak dan kewajiban, hak seorang wanita untuk mendapatkan pendidikan agama yang berstatus fardhu 'ain baginya mengalahkan hak suami untuk membatasi pergerakan istrinya dalam konteks spesifik ini. Hal ini menunjukkan betapa syariat sangat memprioritaskan keabsahan ibadah setiap individu.
_______
Referensi:
1. الإقناع بهامش البجيرمي على الخطيب الجزء الأول ص. ٣٦٧ دار الفكر
(فائدة) حكى الغزالي أن الوطء قبل الغسل يورث الجذام في الولد ويجب على المرأة تعلم ما تحتاج إليه من أحكام الحيض والاستحاضة والنفاس فإن كان زوجها عالماً لزمه تعليمها وإلا فلها الخروج لسؤال العلماء بل يجب ويحرم عليه منعها إلا أن يسأل هو ويخبرها فتستغني بذلك وليس لها الخروج إلى مجلس ذكر أو تعليم خير إلا برضاه وإذا انقطع دم النفاس أو الحيض وتطهرت فللزوج أن يطأها في الحال كراهة.
2. إعانة الطالبين الجزء الرابع ص: ٨٠ دار إحياء الكتب العربية
(تنبيه) يجوز لها الخروج في مواضع – إلى أن قال – (ومنها) أى من المواضع المذكورة وقوله لخر وجها لتعلم العلوم العينية أي كالواجب تعلمه من العقائد والواجب تعلمه مما يصحح الصلاة و الحج و نحوها. اهـ
3. فتح المعين بإعانة الطالبين الجزء الرابع ص: ٨٠-٨١ دار إحياء الكتب العربية
ومنها خروجها لتعلم العلوم العينية أو للاستفتاء حيث لم يغنها الزوج الثقة أو نحو محرمها (قوله حيث لم يغنها) قيد في جواز الخروج لتعلم ما ذكر أي محل جواز ذلك إذا لم يغنها الزوج الثقة عن الخروج لذلك أما إذا أغناها عن ذلك بأن كان يعلمها ماتحتاج إليه فلا يجوز لها الخروج.