Antara Baligh dan Mukallaf
Definisi Baligh
Secara leksikal, kata baligh berasal dari akar kata Arab (بلغ) yang bermakna "sampai" atau "tiba". Secara terminologis atau yuridis Islami, Baligh didefinisikan sebagai berakhirnya masa kanak-kanak dan dimulainya fase kedewasaan, di mana seseorang dianggap telah sampai pada usia pembebanan hukum syariat (taklīf).
Membahas kerangka Baligh dan Mukallaf
Identifikasi masalah: Apakah seseorang yang baligh sudah pasti mukallaf?
Status mukallaf tidak hanya bergantung pada baligh, tetapi juga pada kondisi akal ('aql). Keduanya merupakan pilar kembar yang menopang pembebanan hukum. Istilah yang sering digunakan, akil baligh, secara presisi menggambarkan syarat ini: seseorang yang tidak hanya telah mencapai kedewasaan fisik (baligh) tetapi juga berakal sehat ('āqil), mampu membedakan antara yang benar dan yang salah, serta memahami esensi dari perintah dan larangan.
Hubungan tak terpisahkan antara ketiga elemen ini ditegaskan dalam hadis Nabi Muhammad SAW yang masyhur:
عَن النَّبِي - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ - قَالَ: " رفع الْقَلَم عَن ثَلَاثَة: عَن النَّائِم حَتَّى يَسْتَيْقِظ، وَعَن الصَّبِي حَتَّى يَحْتَلِم، وَعَن الْمَجْنُون حَتَّى يعقل ". وَالله أعلم.
"Pena (pencatat amal) diangkat dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun, dari anak kecil hingga ia ihtilam (mencapai usia baligh), dan dari orang gila hingga ia kembali berakal." (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi) - كتاب مختصر الخلافيات للبيهقي
Hadis ini secara eksplisit menggarisbawahi bahwa pembebanan hukum (taklīf) mensyaratkan adanya kapasitas untuk memahami dan mematuhi. Tanpa akal yang berfungsi, kedewasaan fisik semata tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai subjek hukum Islam. Prinsip ini mencerminkan keadilan dan rasionalitas syariat, di mana kewajiban selalu sepadan dengan kemampuan.
Dapat disimpulkan bahwa mukallaf terbagi menjadi dua, yakni mukallaf muslim dan mukallaf non-muslim. Mukallaf muslim adalah orang berakal yang mencapai kondisi baligh dalam kondisi muslim. Sedangkan mukallaf non-muslim adalah orang berakal yang baligh dalam kondisi tidak muslim, hanya saja dia telah mendengar seruan untuk meng-Esakan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya.
Mukallaf muslim, orang berakal yang balih. Sudah dapat dipastikan mendengar seruan untuk meng-Esakan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya, karena statusnya sebagai Muslim (Orang Islam). Dalam arti lain, dia telah menerima atau kedatangan ajaran agama Islam. Baik melalui pendengaran, penglihatan, atau salah satu darinya, baik ajaran dasar atau pun lanjut, sedikit atau pun banyak.
Mukallaf non muslim. Orang berakal yang baligh dalam kondisi tidak muslim, hanya saja dia telah mendengar seruan untuk meng-Esakan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Baik melalui pendengaran, penglihatan, atau salah satu darinya, baik ajaran dasar atau pun lanjut, sedikit atau pun banyak.
Non Mukallaf non muslim. Orang berakal yang baligh dalam kondisi tidak muslim, dan tidak mendengar seruan untuk meng-Esakan Allah dan mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan-Nya. Baik melalui pendengaran, penglihatan, atau salah satu darinya, baik ajaran dasar atau pun lanjut, sedikit atau pun banyak. Seperti orang-orang primitif yang tidak terjarah dan tidak mengenal dunia luar. Tidak ada beban atau kewajiban baginya.
Dalam kitab Sulam at-Taufiq dijelaskan bahwa kewajiban bagi setiap mukallaf ada 3, yakni: Masuk ke dalam agama Islam Menetap dalam Islam selamanya Menjalankan segala kewajiiban hukum syari’at. Sebagaimana Syaikh Abdullah bin Husain bin Thahir Ba’alawi menyebutkan dalam kitabnya Sulam at-Taufiq:
يجب على كافّة المكلفين الدخول في دين الاسلام, و الثبوت فيه على الدوام, و الْتِزام ما لزم عليه من الاحكام
“Kewajiban bagi setiap mukallaf adalah masuk ke dalam agama Islam, menetap dalam Islam selamanya serta menjalankan segala hal yang diwajibkan atasnya dari segi hukum.”
Sedangkan mukallaf muslim, karena telah dalam kondisi Islam maka tidak perlu lagi untuk masuk islam. ia hanya wajib untuk menetap dalam agama Islam dan menjalankan segala kewajiban hukum-hukum syari’at.
Para ulama juga membahas beberapa syarat lain yang bersifat logis atau kontekstual, yang memperjelas ruang lingkup penerapan taklif.
Sampainya Dakwah (Bulugh ad-Da'wah):
Seseorang tidak dapat dianggap mukallaf terhadap hukum-hukum syariat jika ajaran pokok Islam belum sampai kepadanya. Ini adalah sebuah syarat yang didasarkan pada prinsip keadilan Ilahi, sebagaimana yang dikutip dari kitab al-Qoul al-Jaliy karya Syaikh Abdullah al-Hararaiy al-Habasyiy sebagai berikut:
(المُكَلَّفِيْنَ) جمع مكلف وَهُوَ البَالِغُ العَاقِلُ الَّذِي بَلَغَهُ أَصْلُ دَعْوَةِ الْاِسْلَامِ اي مَنْ بَلَغَهُ اَنَّهُ لاَاِلَهَ اِلَّا اللّه وَ اَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللّهِ
“Mukallaf adalah orang yang baligh, berakal dan telah sampai padanya pokok da’wah Islam, yakni orang yang sampai padanya seruan tiada tuhan selain Allah dan sesungguhnya Nabi Muhammad adalah utusan Allah.”
Sebagaimana firman Allah SWT:
مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزْرَ اُخْرٰىۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِيْنَ حَتّٰى نَبْعَثَ رَسُوْلًا
Siapa yang mendapat petunjuk, sesungguhnya ia mendapat petunjuk itu hanya untuk dirinya. Siapa yang tersesat, sesungguhnya (akibat) kesesatannya itu hanya akan menimpa dirinya. Seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Kami tidak akan menyiksa (seseorang) hingga Kami mengutus seorang rasul. (QS. Al-Isra': 15).
Tidaklah adil menuntut seseorang untuk mematuhi hukum yang tidak pernah ia ketahui keberadaannya.
Kemampuan untuk Melaksanakan (Al-Qudrah wa al-Istitha'ah):
Prinsip fundamental dalam syariat adalah bahwa Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur'an: "La yukallifullahu nafsan illa wus'aha" (Allah tidak membebani satu jiwa kecuali sesuai dengan kesanggupannya) (QS. Al-Baqarah: 286). Ini berarti, jika terdapat halangan yang bersifat memaksa (ikrah) atau ketidakmampuan fisik yang permanen, kewajiban hukum tertentu dapat gugur atau diringankan bagi seorang mukallaf.
Ar-Rusyd (Kecerdasan dan Kematangan dalam Bertindak):
Dalam hukum tertentu, syariat menuntut standar kedewasaan yang lebih tinggi dari sekadar baligh. Contoh paling jelas adalah dalam konteks hukum perdata yang berkaitan dengan pengelolaan harta (tasharruf maliyah). Para ulama menambahkan syarat ar-rusyd, yaitu kematangan, kebijaksanaan, dan kecakapan dalam mengelola harta. Seseorang yang sudah baligh dan berakal namun bersifat boros dan tidak cakap mengelola keuangan (safih) tidak diberikan wewenang penuh atas hartanya sampai ia terbukti memiliki rusyd. Hal ini menunjukkan bahwa standar kedewasaan bisa bersifat spesifik tergantung pada domain hukum yang dibicarakan.