Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaklid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan ulama-ulama, bahwa larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al-Quran dan Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaklid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama. (Al-Mizan Al-Kubra 1/62)
Dalam keyakinan orang-orang yang bermadzhab, antara taklid dan ittiba’ (mengikuti pendapat ulama) adalah sama. Dan itu tidak pernah ditemukan bahasa atau istilah yang membedakannya. Namun, menurut orang-orang yang anti taklid, meyakini adanya perbedaan antara dua bahasa tersebut sehingga jika mereka mengikuti pendapat ulama, seperti mengikuti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Nashiruddin Al-Albani dan lain-lain maka menurut mereka, itu adalah bagian dari ittiba’ dan bukan taklid. Karena menurut pehaman mereka, taklid adalah mengikuti imam madzhab yang akan selalu diikuti, meski imam madzhab tersebut salah atau bisa di sebut taklid buta. Sedangkan ittiba’ tidaklah demikian. Sebuah statemen yang tidak berdasar sama sekali.
Mengenai masalah perbedaan dua kata di atas, pernah terjadi dialog antara Dr. Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi dengan seseorang tamu yang datang kepada beliau. Tamu tersebut berkeyakinan seperti di atas bahwa ada perbedaan antara taklid dan ittiba’. Kemudian Dr. al-Buthi menantang tamu tersebut untuk membuktikan apa perbedaan antara dua kata tersebut, apakah secara bahasa atau istilah dengan di persilahkan mengambil referensi dari kitab lughat atau kamus bahasa Arab. Namun, tamu tersebut tidak mampu membuktikan pernyataannya tersebut.
Klik untuk menyimak ringkasan diskusi antara Dr. Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dan Nashiruddin Al-Albani.
Sebagai penutup dalam pembahasan yang sangat singkat ini tentang pentingnya mengikuti salah satu imam madzhab yang empat, berikut saya paparkan risalah tentang pentingnya mengikuti madzhab empat Karya Hadhratu syaikh KH. Hasyim Asy ’ari
رِسَالَةٌ فِيْ تَأَكُّدِ الْأَخْذِ بِمَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ تَأْلِيْفُ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ)
Risalah Tentang Pentingnya Mengikuti Madzhab Empat Karya Hadhratu syaikh KH. Hasyim Asy ’ari (1287H-1366H)
اِعْلَمْ أَنَّ فِي الْأَخْذِ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ مَصْلَحَةً عَظِيْمَةً وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُلِّهَا مَفْسَدَةً كَبِيْرَةً
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mengikuti madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya membawa risiko kerusakan yang fatal.
وَنَحْنُ نُبَيِّنُ ذَلِكَ بِوُجُوْهٍ
Kami akan menjelaskan persoalan di atas dari beberapa aspek:
أَحَدُهَا أَنَّ الْأُمَّةَ اِجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَعْتَمِدُوْا عَلَى السَّلَفِ فِيْ مَعْرِفَةِ الشَّرِيْعَةِ
Pertama, bahwa umat Islam telah sepakat bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara benar.
فَالتَّابِعُوْنَ اِعْتَمَدُوْا فِيْ ذَلِكَ عَلَى الصَّحَابَةِ وَتُبَّعُ التَّابِعِيْنَ اِعْتَمَدُوْا عَلَى التَّابِعِيْنَ وَهَكَذَا فِيْ كُلِّ طَبَقَةٍ اِعْتَمَدَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَنْ قَبْلَهُمْ
Dalam hal ini, para tabiin mengikuti jejak para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu para pengikut tabiin meneruskan langkah dengan mengikuti jejak para tabiin. Demikianlah seterusnya, pada setiap generasi, para ulama pasti mengacu dan merujuk kepada orang-orang dari generasi sebelumnya.
وَالْعَقْلُ يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ ذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيْعَةَ لَا تُعْرَفُ إِلَّا بِالنَّقْلِ وَالْإِسْتِنْبَاطِ
Akal yang sehat menunjukkan betapa baiknya pola pemahaman dan pengamalan syariat Islam yang seperti itu. Sebab syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan cara naql (mengambil dari generasi sebelumnya) dan istinbat (mengeluarkan dari sumbernya, Al Quran dan Al Hadits, melalui ijtihad untuk menetapkan hukum).
وَالنَّقْلُ لَا يَسْتَقِيْمُ إِلَّا بِأَنْ تَأْخُذَ كُلُّ طَبَقَةٍ عَمَّنْ قَبْلَهَا بِالْإِتِّصَالِ
Naql tidak mungkin dilakukan dengan benar kecuali dengan cara setiap generasi mengambil langsung dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan.
وَلَا بُدَّ فِي الْإِسْتِنْبَاطِ أَنْ يَعْرِفَ مَذَاهِبَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ لِئَلَّا يَخْرُجَ عَنْ أَقْوَالِهِمْ فَيَخْرِقُ الْإِجْمَاعَ وَيَبْنِيْ عَلَيْهَا وَيَسْتَعِيْنُ فِيْ ذَلِكَ بِمَنْ سَبَقَهُ
Sedangkan untuk istinbat, disyaratkan harus mengetahui madzhab – madzhab ulama generasi terdahulu agar tidak menyimpang dari pendapat-pendapat mereka yang bisa berakibat menyalahi kesepakatan mereka (ijma’). Dan melanjutkan madzhab – madzhab tersebut dengan ditunjang madzhab – madzhab ulama generasi sebelumnya
لِأَنَّ جَمِيْعَ الصِّنَاعَاتِ كَالصَّرْفِ وَالنَّحْوِ وَالطِّبِّ وَالشِّعْرِ وَالْحِدَادَةِ وَالتِّجَارَةِ وَالصِّيَاغَةِ لَمْ تَتَيَسَّرْ لِأَحَدٍ إِلَّا بِمُلَازَمَةِ أَهْلِهَا وَغَيْرُ ذَلِكَ نَادِرٌ بَعِيْدٌ لَمْ يَقَعْ وَإِنْ كَانَ جَائِزًا فِي الْعَقْلِ
Sebab, semua pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang, misalnya dibidang shorof, nahwu, kedokteran, kesusastraan, pandai besi, perdagangan dan keahlian logam mulia, tidak mungkin begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali dengan terus menerus belajar kepada ahlinya. Di luar cara itu, sungguh sangat langka dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris tidak pernah terjadi, kendatipun secara akal boleh saja terjadi.
وَإِذَا تَعَيَّنَ الْإِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِ السَّلَفِ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ أَقْوَالُهُمْ اَلَّتِيْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهَا مَرْوِيَّةً بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ أَوْ مُدَوَّنَةً فِيْ كُتُبٍ مَشْهُوْرَةٍ
Jika pendapat-pendapat para ulama salaf telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan pedoman, maka pendapat-pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah diriwayatkan dengan sanad (mata-rantai) yang benar dan bisa dipercaya, atau dituliskan dalam kitab-kitab yang masyhur
وَأَنْ تَكُوْنَ مَخْدُوْمَةً بِأَنْ يُبَيَّنَ الرَّاجِحُ مِنْ مُحْتَمَلَاتِهَا وَيُخَصَّصَ عُمُوْمُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُقَيَّدَ مُطْلَقُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُجْمَعَ الْمُخْتَلَفُ مِنْهَا وَيُبَيَّنَ عِلَلُ أَحْكَامِهَا وَإِلَّا لَمْ يَصِحَّ الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهَا
Dan telah diolah (dikomentari) dengan menjelaskan pendapat yang unggul dari pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhsis) dari yang umum, membatasi yang mutlak dalam konteks tertentu, menghimpun dan menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian. Karena itu, apabila pendapat-pendapat ulama tadi tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti di atas, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.
وَلَيْسَ مَذْهَبٌ فِيْ هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا هَذِهِ الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ اَللَّهُمَّ إِلَّا مَذْهَبَ الْإِمَامِيَّةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لَا يَجُوْزُ الْاِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِهِمْ
Tidak ada satu madzhab pun di zaman akhir ini yang memenuhi syarat dan sifat seperti di atas selain madzhab empat ini. Memang ada juga madzhab yang mendekati syarat dan sifat di atas, yaitu madzhab Imamiyah (Syi'ah) dan Zaydiyah (golongan Syi'ah). Namun keduanya adalah golongan ahlu bid'ah, sehingga keduanya tidak boleh dijadikan pegangan.
وَثَانِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّبِعُوا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ
وَلَمَّا انْدَرَسَتْ اَلْمَذَاهِبُ الْحِقَّةُ إِلَّا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ كَانَ اتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ
Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: "Ikutilah golongan terbesar (as-Sawad al-A'zham)!”.
Ketika beberapa madzhab yang tergolong benar telah hilang dan yang tersisa hanya tinggal empat madzhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti empat madzhab berarti mengikuti as-Sawad al-A'zham, dan keluar dari sana berarti telah keluar dari as-Sawad al-A'zham.
وَثَالِثُهَا أَنَّ الزَّمَانَ لَمَّا طَالَ وَبَعُدَ الْعَهْدُ وَضُيِّعَتِ الْأَمَانَاتُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَمَدَ عَلَى أَقْوَالِ عُلَمَاءِ السُّوْءِ مِنَ الْقُضَاةِ الْجَوَرَةِ وَالْمُفْتِيْنَ التَّابِعِيْنَ لِأَهْوَائِهِمْ حَتَّى يَنْسِبُوْا مَا يَقُوْلُوْنَ إِلَى بَعْضِ مَنْ اِشْتَهَرَ مِنَ السَّلَفِ بِالصِّدْقِ وَالدِّيَانَةِ وَالْأَمَانَةِ إِمَّا صَرِيْحًا أَوْ دَلَالَةً وَحِفْظِ قَوْلِهِ فِيْ ذَلِكَ وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا نَدْرِيْ هَلْ جَمَعَ شُرُوْطَ الْإِجْتِهَادِ أَوْ لَا
Ketiga, pada saat zaman sudah begitu lama berputar, makin jauh (dari masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam), dan amanat menjadi begitu mudah disia-siakan, maka tidak boleh berpegang pada pendapat-pendapat oknum-oknum ulama yang buruk, baik dari kalangan hakim-hakim yang menyeleweng maupun mufti-mufti yang hanya mengikuti hawa nafsunya, meskipun mereka mengaku bahwa pendapatnya itu sesuai dengan pendapat ulama salaf yang masyhur integritas pribadinya, loyalitas agamanya dan amanah moralnya, baik secara eksplisit maupun secara implisit, serta memelihara pendapatnya secara bertanggung jawab. Kita pun tidak boleh mengikuti pendapat orang yang kita belum mengetahui persis apakah yang bersangkutan sudah memenuhi persyaratan ijtihad atau belum.
فَإِذَا رَأَيْنَا الْعُلَمَاءَ الْمُحَقِّقَيْنَ فِيْ مَذَاهِبِ السَّلَفِ عَسَى أَنْ يَصْدُقُوْا فِيْ تَخْرِيْجَاتِهِمْ عَلَى أَقْوَالِهِمْ وَاسْتِنْبَاطِهِمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَأَمَّا إِذَا لَمْ نَرَ مِنْهُمْ ذَلِكَ فَهَيْهَاتَ
Apabila kita melihat para ulama ahli tahqiq (penelitian) yang menekuni madzhab – madzhab para ulama salaf, maka ada harapan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran dalam usahanya merumuskan pendapat dan penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari Al-Quran dan As-Sunnah. Sebaliknya, apabila kita tidak melihat hal itu kepada mereka, maka sungguh jauh dari kemungkinan memperoleh kebenaran yang diharapkan.
وَهَذَا الْمَعْنَى الَّذِيْ أَشَارَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ جِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ حَيْثُ قَالَ مَنْ كَانَ مُتَّبِعًا فَلْيَتَّبِعْ مَنْ مَضَى
Inilah pengertian yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhu melalui perkataannya: "Islam akan hancur akibat kelihaian orang-orang munafik dalam berdebat dengan menggunakan Al-Quran."
Dan juga sahabat Ibnu Mas'ud berpesan: "Barang siapa menjadi pengikut (yang baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi sebelumnya."
فَمَا ذَهَبَ اِلَيْهِ ابْنُ حَزْمٍ حَيْثُ قَالَ اَلتَّقْلِيْدُ حَرَامٌ إِلَى آخِرِهْ إنَّمَا يَتِمُّ فِيْمَنْ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الْاِجْتِهَادِ وَلَوْ فِيْ مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ
Dengan demikian gagasan yang pernah dilontarkan Ibnu Hazm bahwa taklid itu hukumnya haram, sesungguhnya hanya ditujukan kepada orang yang memiliki kemampuan berijtihad meskipun hanya dalam satu permasalahan,
وَفِيْمَنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ ظُهُوْرًا بَيِّنًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَذَا وَنَهَى عَنْ كَذَا وَأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْسُوْخٍ إِمَّا بِأَنْ يَتَتَبَّعَ الْأَحَادِيْثَ وَأَقْوَالَ الْمُخَالِفِ وَالْمُوَافِقِ فِي الْمَسْأَلَةِ فَلَا يَجِدُ لَهَا نَسْخًا
Serta buat orang yang konkret meyakini bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ini atau melarang itu, sedang perintah atau larangan itu belum dihapuskan. Keyakinan mungkin dapat diperoleh dengan meneliti banyak Hadits dan pendapat para ulama yang menentang maupun yang setuju, lalu jelas bahwa ketentuannya belum ter hapuskan
أَوْ بِأَنْ يَرَى جَمًّا غَفِيْرًا مِنَ الْمُتَبَحِّرِيْنَ فِي الْعِلْمِ يَذْهَبُوْنَ إِلَيْهِ وَيَرَى الْمُخَالِفَ لَهُ لَا يَحْتَجُّ اِلَّا بِقِيَاسٍ أَوْ اِسْتِنْبَاطٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ
Atau mungkin dengan melihat mayoritas terbesar dari golongan ulama yang mendalami ilmunya ternyata sependapat dalam ketentuan tersebut, sementara golongan yang menentangnya tidak mampu mengajukan dalil kecuali hanya berupa qiyas atau istinbat atau yang sejenisnya (bukan berupa dalil nash).
فَحِيْنَئِذٍ لَا سَبَبَ لِمُخَالَفَةِ حَدِيْثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا نِفَاقٌ خَفِيٌّ أَوْ حُمْقٌ جَلِيٌّ
Jika demikian maka tidak ada dalih untuk menyalahi Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam selain kemunafikan yang terselubung atau kebodohan yang nyata.
وَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا بُدَّ لِلْمُكَلَّفِ غَيْرِ الْمُجْتَهِدِ الْمُطْلَقِ مِنْ اِلْتِزَامِ التَّقْلِيْدِ لِمَذْهَبٍ مُعَيَّنٍ مِنْ مَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ وَلَا يَجُوْزُ لَهُ الْاِسْتِدْلَالُ بِالْآيَاتِ وَالْأَحَادِيْثِ لِقَوْلِهِ تَعَالَى وَلَوْ رَدُّوْهُ إِلَى الرَّسُوْلِ وَإِلَى أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَ مِنْهُمْ
Dan ketahuilah, bahwa setiap orang yang sudah mukalaf (Aqil balig) yang tidak mampu berijtihad secara mutlak, harus mengikuti salah satu dari empat madzhab dan tidak boleh baginya untuk ber-istidlal (mengambil dalil secara langsung) dari Al-Quran atau Hadits.
Ini didasarkan pada firman Allah Ta ’ala (yang artinya kurang lebih): “Dan seandainya menyerahkan (urusan itu) kepada Rasul dan ulil amri (yang menguasai pada bidangnya) di antara mereka, niscaya orang-orang yang ingin mengetahui kebenaran akan dapat mengetahuinya dari mereka (Rasul dan ulil amri).”.
وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ هُمُ الَّذِيْنَ تَأَهَّلُوْا لِلْاِجْتِهَادِ دُوْنَ غَيْرِهِمْ كَمَا هُوَ مَبْسُوْطٌ فِيْ مَحَلِّهِ
Dan telah dimaklumi, bahwa mereka yang dapat ber-istinbath (mengambil dalil langsung dari Al-Quran dan Hadits) adalah orang-orang yang telah memiliki cukup keahlian dan kemampuan berijtihad, bukan orang lain, sebagaimana keterangan yang diuraikan dalam bab ijtihad di berbagai kitab.
أَمَّا الْمُجْتَهِدُ فَيَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّقْلِيْدُ فِيْمَا هُوَ مُجْتَهِدٌ فِيْهِ لِتَمَكُّنِهِ مِنَ الْاِجْتِهَادِ الَّذِيْ هُوَ أَصْلُ التَّقْلِيْدِ لَكِنِ الْمُجْتَهِدُ الْمُسْتَقِلُّ بِوُجُوْدِ الشَّرَائِطِ الَّتِيْ ذَكَرَهَا الْأَصْحَابُ فِيْ أَوَائِلِ الْقَضَاءِ مَفْقُوْدٌ مِنْ نَحْوِ سِتِّمِائَةِ سَنَةٍ كَمَا قَالَهُ ابْنُ الصَّلَاحِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى
Adapun orang yang dapat menyandang status mujtahid, maka haram baginya untuk bertaklid dalam persoalan yang ia sendiri mampu berijtihad, karena kemampuannya berijtihad justru menjadi acuan bagi mereka yang taklid.
Namun demikian, mujtahid mustaqill (mujtahid yang mampu menggali hukum langsung dari sumbernya, Al-Quran dan Hadits) dengan memenuhi segala persyaratannya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para pengikutnya dalam permulaan bab qodlo', ternyata sudah tidak ditemukan lagi sejak kira-kira enam ratus tahun yang silam, sebagaimana yang diungkapkan oleh Ibnu Shalah rahimahullaau ta’ala
حَتَّى قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ إِنَّ النَّاسَ لَا إِثْمَ عَلَيْهِمْ اَلْآنَ بِتَعْطِيْلِ هَذَا الْفَرْضِ أَيْ بُلُوْغِ دَرَجَةِ الْاِجْتِهَادِ الْمُطْلَقِ لِأَنَّ النَّاسَ كُلَّهُمْ بُلَدَاءُ بِالنِّسْبَةِ إِلَيْهَا وَفَرْضُ الْكِفَايَةِ فِيْ طَلَبِ الْعُلُوْمِ لَا يُتَوَجَّهُ إِلَى الْبَلِيْدِ
Bahkan tidak sekedar satu orang yang menyatakan manusia sekarang tidak berdosa seandainya meninggalkan kewajiban berijtihad ini, karena manusia zaman sekarang ini jahil untuk mencapai derajat ijtihad. Padahal fardhu kifayah dalam hal mencari ilmu tidak mungkin ditujukan kepada orang-orang yang jahil.
وَلَيْسَتِ الْمَذَاهِبُ الْمَتْبُوْعَةُ مُنْحَصِرَةٌ فِي الْأَرْبَعَةِ بَلْ لِجَمَاعَةٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ مَذَاهِبُ مَتْبُوْعَةٌ أَيْضًا كَالسُّفْيَانَيْنِ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ وَدَاوُدَ اَلظَّاهِرِيِّ وَالْأَوْزَاعِيِّ
Sebenarnya madzhab – madzhab yang boleh diikuti tidak hanya terbatas hanya kepada empat madzhab saja, bahkan ada golongan ulama dari madzhab yang bisa diikuti, seperti madzhab Sufyan Tsawri dan Sufyan bin ‘Uyaynah, Ishaq bin Rahawayh, madzhab Dawud ad-Zhahiri dan madzhab al-Awza'i.
وَمَعَ ذَلِكَ فَقَدْ صَرَّحَ جَمْعٌ مِنْ أَصْحَابِنَا بِأَنَّهُ لَا يَجُوْزُ تَقْلِيْدُ غَيْرِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ ، وَعَلَّلُوْا ذَلِكَ بِعَدَمِ الثِّقَةِ بِنِسْبَتِهَا إِلَى أَرْبَابِهَا لِعَدَمِ الْأَسَانِيْدِ الْمَانِعَةِ مِنَ التَّحْرِيْفِ وَالتَبْدِيْلِ
Meskipun demikian para ulama pengikut madzhab Syafi'i menjelaskan bahwa mengikuti selain empat madzhab adalah tidak boleh, karena tidak ada jaminan kebenaran atas hubungan madzhab itu dengan para imam yang bersangkutan, sebab tidak adanya sanad (mata-rantai) yang dapat menjamin dari beberapa kekeliruan dan perubahan
بِخِلَافِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ فَإِنَّ أَئِمَّتَهَا بَذَلُوْا أَنْفُسَهُمْ فِيْ تَحْرِيْرِ الْأَقْوَالِ وَبَيَانِ مَا ثَبَتَ عَنْ قَائِلِهِ وَمَالَمْ يَثْبُتْ فَأَمِنَ أَهْلُهَا مِنْ كُلِّ تَغْيِيْرٍ وَتَحْرِيْفٍ وَعَلِمُوا الصَّحِيْحَ مِنَ الضَّعِيْفِ
Berbeda dengan madzhab empat, karena para pemimpinnya telah mencurahkan jerih payahnya dalam mengkodifikasi (menghimpun) pendapat-pendapat serta menjelaskan hal-hal yang telah ditetapkan atau yang tidak ditetapkan oleh pendiri madzhab. Dengan begitu, maka para pengikutnya menjadi aman dari segala perubahan dan kekeliruan, serta bisa mengetahui mana pendapat yang benar dan yang lemah.
وَلِذَا قَالَ غَيْرُ وَاحِدٍ فِي الْإِمَامِ زَيْدِ بْنِ عَلِيٍّ إِنَّهُ إِمَامٌ جَلِيْلُ الْقَدْرِ عَالِي الذِّكْرِ وَ إِنَّمَا ارْتَفَعَتْ اَلثِّقَةُ بِمَذْهَبِهِ لِعَدَمِ اعْتِنَاءِ أَصْحَابِهِ بِالْأَسَانِيْدِ فَلَمْ يُؤْمَنْ عَلَى مَذْهَبِهِ التَّحْرِيْفُ وَالتَّبْدِيْلُ وَنِسْبَةُ مَالَمْ يَقُلْهُ إِلَيْهِ ، فَالْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ الْمُتَّبَعَةُ ، وَقَدْ صَارَ إِمَامُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ الْإِسْلَامِ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ تَعْرِيْفًا
Oleh karena itu, tidak sedikit orang yang memberi komentar terhadap Imam Zayd bin 'Ali. Beliau adalah seorang imam yang agung kedudukannya dan tinggi reputasinya, akan tetapi kepercayaan terhadap madzhabnya menjadi hilang karena para murid-muridnya kurang dalam memberikan perhatian pada pentingnya sanad yang menjamin kesinambungan suatu madzhab.
فَالْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ هِيَ الْمَشْهُوْرَةُ الْآنَ الْمُتَّبَعَةُ ، وَقَدْ صَارَ إِمَامُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِطَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ الْإِسْلَامٍ عَرِيْفًا بِحَيْثُ لَا يَحْتَاجُ السَّائِلُ عَنْ ذَلِكَ تَعْرِيْفًا
Maka madzhab empat inilah madzhab yang sekarang masyhur dan diikuti. Para imam dari masing-masing empat madzhab ini begitu dikenal, sehingga orang yang bertanya tidak perlu lagi diberikan pengenalan kepada mereka, karena begitu nama mereka disebut, dengan sendirinya orang bertanya pasti mengenalnya.
Wallaahu A’lamu Bishshowaab.
Penjelasan tentang Ijtihad dan taqlid di antaranya dapat di temukan pada kitab Syarah Waroqot Fii 'Ilmi Ushul Fiqhi Li Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Almahalli