Memahami Urgensi Niat
Memahami Urgensi Niat
Hikmah ke-9 | Tanawwaʿat ajnāsul-aʿmāl li-tanawwuʿi wāridāt al-aḥwāl.
"Beragam jenis amal perbuatan itu karena beragamnya warid (inspirasi spiritual) dari berbagai keadaan hati."
___
Jenis-jenis amal perbuatan yang tampak berbeda-beda itu disebabkan karena perbedaan warid (inspirasi atau dorongan) yang datang kepada hati. Karena sesungguhnya warid itu adalah apa yang masuk ke dalam hati berupa maʿrifah (pengenalan terhadap Allah), rahasia-rahasia, dan pengetahuan-pengetahuan ruhani lainnya. Dan amal perbuatan yang tampak secara lahiriah adalah cerminan dari keadaan hati. Amal perbuatan lahiriah mengikuti keadaan hati. Sebagaimana disebutkan dalam hadis:
"Ketahuilah bahwa dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik maka seluruh jasad menjadi baik, dan jika ia rusak maka seluruh jasad pun rusak. Ketahuilah, itulah hati."
Maka, ketika datang warid ke dalam hati berupa dorongan untuk mencari ilmu, maka ia akan mengarahkannya untuk bangun malam dan belajar. Jika yang datang adalah warid berupa kasih sayang, maka akan tampak dalam bentuk sedekah dan puasa serta amal-amal lainnya.
- Syarhul Hikam Al-'Athaiyyah Li Ibni Atha'illah As-Sakandari, karya Syeikh ʿAbdul-Majīd al-Syarnūbī, Hal. 22, Cet. Darul Ibnu Katsir Damaskus
_____
Hasil dari sebuah amal atau perbuatan bukan hanya karena bagus atau tidaknya perbuatan tersebut, melainkan karena niat dalam melakukan perbuatan tersebut. Sebagaimana nabi mengingatkan kita.
"Betapa banyak perbuatan atau amal yang tampak dalam bentuk amalan keduniaan, tapi karena didasari niat yang baik (ikhlas) maka menjadi atau tergolong amal-amal akhirat. Sebaliknya banyak amalan yang sepertinya tergolong amal akhirat, kemudian menjadi amal dunia, karena didasari niat yang buruk (tidak ikhlas).”
- Dikutip dari kitab Ta'limul Muta'allim
_____
Amal ibadah itu terikat dengan niat seseorang, dan ia berlaku sesuai dengan niatnya pula. Hasil dari suatu ibadah ditentukan oleh beragamnya situasi, kondisi dan motivasi dalam hati yang melatarbelakangi munculnya amal tersebut.
_____
Imam an-Nawawi dalam mukadimah kitabnya yang monumental, Al-Majmū' Syarḥ al-Muhadzdzab, menganalogikan pentingnya membersihkan hati untuk menerima ilmu seperti membersihkan dan mempersiapkan lahan untuk bercocok tanam. Jika lahannya subur dan bersih, maka benih ilmu akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan buah yang bermanfaat.
Adab terpenting bagi seorang pelajar adalah menyucikan hatinya dari segala kotoran (الأدناس). Agar hati tersebut layak dan siap untuk menerima ilmu, menjaganya, dan memanfaatkannya.
Sebagai landasan argumennya Imam an-Nawawi kemudian mengutip sebuah hadis shahih yang diriwayatkan dalam Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Rasulullah ﷺ
إِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهِيَ الْقَلْبُ
"Sesungguhnya di dalam tubuh ada segumpal daging. Jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh. Dan jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, ia adalah hati (al-qalb)."
Hadis ini menjadi dalil (bukti) yang sangat kuat bahwa kebaikan dan keburukan amal lahiriah seseorang bergantung pada kondisi hatinya. Dalam konteks menuntut ilmu, hati yang bersih dan sehat akan memudahkan seseorang untuk menyerap ilmu yang bermanfaat. Sebaliknya, hati yang kotor (penuh dengan dengki, sombong, cinta dunia, dll.) akan menjadi penghalang bagi masuknya cahaya ilmu.
Imam an-Nawawi menganalogikan proses ini seperti menyiapkan lahan untuk bercocok tanam (كتطييب الأرض للزراعة). Hati yang dibersihkan ibarat tanah yang digemburkan dan disuburkan agar benih (ilmu) dapat tumbuh dengan baik.
Imam asy-Syafi'i rahimahullah Menegaskan bahwa ilmu tidak akan bisa diraih dengan keangkuhan dan kemuliaan diri, melainkan dengan kerendahan hati (ذل النفس), kesabaran dalam kesulitan hidup (ضيق العيش), dan berkhidmat kepada ulama (خدمة العلماء). Beliau juga berkata: “Ilmu tidak akan diraih kecuali dengan bersabar atas kerendahan diri (kehinaan).” Dan berkata lagi: “Menuntut ilmu itu tidaklah cocok (tidak akan berhasil dengan baik) kecuali bagi seorang yang bangkrut (muflis).” Lalu ada yang bertanya kepadanya: “Tidak juga bagi orang kaya yang sudah tercukupi kebutuhannya?” Beliau menjawab: “Tidak, tidak juga bagi orang kaya yang sudah tercukupi kebutuhannya”.
Muflis
Imam asy-Syafi'i menggunakan kata ini untuk menggambarkan kondisi mental dan spiritual yang ideal bagi penuntut ilmu. Biasanya orang yang bangkrut tidak memiliki harta untuk dikelola atau kemewahan untuk dinikmati. Satu-satunya "aset" yang bisa ia investasikan adalah waktu dan tenaganya. Maka penting bagi seorang pelajar seluruh perhatiannya tercurah pada satu tujuan, yaitu mencari ilmu. Hatinya tidak terikat pada kekayaan, jabatan, atau status sosial yang bisa menjadi penghalang dan gangguan terbesar dalam belajar. Ia mencari ilmu dengan "rasa lapar" seolah-olah hidupnya bergantung pada hal itu.
Orang Kaya Yang Tercukupi
Bukan berarti orang kaya haram menuntut ilmu, karena banyak juga ulama yang berasal dari keluarga berada. Pesan utamanya adalah bahaya dari rasa nyaman dan kecukupan. Seseorang yang hidupnya sudah nyaman dan serba ada cenderung sulit untuk mengerahkan pengorbanan maksimal. Hatinya mudah terganggu oleh urusan hartanya dan sulit untuk merasakan kerendahan diri yang dibutuhkan untuk belajar.