Tidak hanya diam, berbicara juga adalah emas pada waktunya. Sebaliknya berbicara ataupun diam akan menjadi celaka jika tidak pada waktunya.
Anas Azhar Nasim, 11 Juli 2024 | direvisi pada 20 Juli 2024
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak akan lepas dari berkomunikasi. Secara umum komunikasi identik dengan aktivitas berbicara dan mendengarkan. Komunikasi melibatkan sebuah proses berbicara silih berganti antara pembicara dan lawan bicara. Pada saat pembicara mengeluarkan tuturan, lawan bicara berperan sebagai pendengar, dan sebaliknya pada saat lawan bicara mengambil alih kegiatan berbicara, pembicara sebelumnya beralih fungsi menjadi pendengar. Bentuk resiprokal ini membentuk kegiatan percakapan yang saling memberi dan menerima informasi.
Namun benarkah atas dasar makhluk sosial ini manusia harus terus berbicara atau hanya tertegun diam untuk mendengarkan!? Tampaknya tidak. Setiap ucapan ada tempatnya dan setiap tempat ada ucapan yang tepat baginya. Artinya jangankan antara diam dan berbicara, dalam berbicara pun kita perlu selektif memilih isi dari pembicaraan. Sehingga dapat dipahami juga bahwa tidak di setiap keadaan manusia sebagai makhluk sosial harus terus berbicara atau terus diam.
Sependek pengetahuan saya, ada situasi di mana seseorang yang seharusnya berbicara tapi memilih untuk diam dan situasi di mana seseorang yang seharusnya diam tapi memilih untuk berbicara.
Saya contohkan sebuah kondisi, seperti "dosen mengajar di depan mahasiswa" dan "orang tua menasihati anaknya". Peristiwa-peristiwa ini di satu sisi mengharuskan seseorang untuk berbicara dan diam di sisi lainnya. Dalam dua kondisi yang saya contohkan tadi mahasiswa diam ketika dosen mengajar dan seorang anak diam ketika dinasihati orang tua.
Berangkat dari keadaan tersebut ada pepatah yang mengatakan “diam adalah emas”. Diam di sini bukan berarti pasif, namun dapat diartikan sebagai sikap menghargai, mendengarkan, dan memperhatikan. Lalu kenapa diam dikatakan emas? Karena berbicaranya dosen dan orang tua dalam keadaan ini adalah emas. Sehingga karena di sisi lain berbicara adalah emas, maka diam adalah pilihan yang tepat.
Namun sebaliknya, dalam keadaan yang lain diam bukanlah emas. Hal ini terjadi dalam situasi di mana seseorang yang seharusnya berbicara tapi memilih untuk diam. Misalnya, diamnya mahasiswa ketika diminta bertanya kepada dosen dalam forum diskusi perkuliahan atau diamnya seseorang tidak menyampaikan pengetahuannya ketika tidak ada orang lain yang mengetahui dan dapat menyampaikan. Peristiwa yang dicontohkan itu menunjukkan diamnya seseorang tidak dapat dikatakan emas.
Sebagian di antara kita mungkin selama ini menilai bahwa diam selalu lebih baik dari pada berbicara. Namun tepatnya, ketika dengan berbicara ternyata memberikan kemanfaatan, mengundang kebaikan, dan memberikan hikmah kepada orang lain, maka berbicara lebih baik.
Nabi dalam sabdanya menyampaikan “Siapa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata baik atau diam”. Di antaranya dalam kitab Arbain Nawawi Hadits ini dicantumkan. Tepatnya pada Hadits urutan ke-15 dari 42.
Nabi memberikan dua pilihan antara berbicara yang baik atau diam. Sehingga ketika kita tidak bisa memilih berbicara yang baik, pilihan lain yang harus kita ambil adalah diam.
Kenapa ketika saya tidak dapat berbicara yang baik, saya tidak boleh berbicara? sebenarnya bukan tidak boleh berbicara, tapi akan lebih baik ketika mencoba untuk tidak berbicara. Dikhawatirkan dalam ketidakmampuan saya untuk berbicara yang baik memunculkan sebuah asumsi yang salah. Asumsi yang salah ini akan berdampak lebih serius lagi, seperti menjadi fitnah, berita palsu, dsb yang semua itu berdampak negatif juga bagi saya sendiri.
Pentingnya menjaga pembicaraan merupakan gambaran kecil dari pentingnya menjaga seluruh anggota badan. Sebagai hamba kita bersungguh-sungguh melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya. Yang terpenting dari semuanya adalah mengendalikan gerak-gerik seluruh anggota badan karena kelak akan dimintai tanggung jawab atas semua perbuatannya, sekalipun hati. (QS. Al-Isra’ : 36)
Rasul mengingatkan kita akan banyaknya bahaya lisan. Rasul bersabda : “Tiga ucapan anak Adam menjadi tanggung jawabnya, kecuali menyebut nama Allah, menyuruh berbuat makruf, dan mencegah kemungkaran”. Sebagian ulama berkata :”Seluruh adab yang baik itu bersumber pada empat Hadits, antara lain Hadits “Siapa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata baik atau diam”.
Untuk memilih antara berbicara atau diam pertama saya bisa meninjau situasi dan keadaan di sekitar saya. Seperti pada contoh yang telah saya tulis sebelumnya di atas. Kemudian selanjutnya selain meninjau keadaan di luar diri, saya juga perlu mempertimbangkan apa yang akan saya sampaikan. Jika bisa berbicara baik dan mengandung manfaat atau hikmah untuk orang lain, maka berbicara tidak ada salahnya. Sebaliknya, jika tidak dapat berkata baik dan cenderung mengarah sia-sia, maka kemuliaan dan kebaikan lebih cenderung dengan diam. Saya harus bisa menilai kapan harus berbicara dan diam.
Tulisan ini nasihat untuk saya sendiri selaku penulis. Saya sedang belajar. Semoga kita semua senantiasa dituntun untuk mampu berbicara yang baik.