Satu-satunya yang tidak dapat diatur adalah sang Mudabbir, Dzat yang maha mengatur, yaitu Allah swt

Anas Azhar Nasim, 20 Agustus 2024


Dalam diaturnya manusia, selain diatur oleh hukum yang diciptakan oleh manusia sendiri. Sebagai makhluk, manusia tidak akan pernah lepas dari pengaturan sang khaliq, yakni Allah swt. Dalam pengaturanNya Allah swt. tidak pernah berbuat jahat sedikit pun.

Dalam bait pertama Nadhom Aqidatul Awam kalimat دائم الإحسان  dimaknai dengan kebaikan Allah yang terus ada selamanya (langgeng). Baik ketika dibuat senang atau sedih dan diberi ujian atau musibah, segala peringatan dan balasan yang Allah berikan kepada makhluk-Nya bagaimanapun dan kapan pun, Allah swt. melakukannya atas dasar kebaikan.

Kita tidak pantas mendikte apa yang Allah lakukan, segala yang dilakukan oleh Allah swt. tidak berlaku pertanyaan mengapa dan bagaimana karena Allah Maha menguasai atas segalanya dan Maha bijaksana. Seperti (bukan untuk menyetarakan, melainkan memberikan contoh kecil) ketika saya punya laptop, maka apa pun yang akan saya lakukan kepada laptop tersebut itu terserah pada saya. Sebaliknya ketika ada orang lain yang merusak dan mengakui hak kepemilikan atas laptop tersebut, saya tidak akan senang.

Tidak ada hak bagi kita untuk ikut mengatur apa yang Allah swt. lakukan. Bahkan Sayyid Ahmad bin Atha-‘illah As-Sakandari secara khusus menulis sebuah kitab berjudul “At-Tanwir” untuk menjelaskan tentang batasan antara ikhtiar dan tawakal. Pesan yang tersirat dari kitab tersebut adalah “Istirahatkan Dirimu dari Kesibukan Duniawi. Apa yang Telah Diatur Allah swt. Tak perlu Kau Sibuk Ikut Campur”.

Pada tulisan sebelumnya saya membuat tulisan dengan judul “Aturan ada untuk menyelamatkan kita, karenanya adanya aturan bukan untuk dilanggar”. Aturan ada bukan untuk dilanggar melainkan untuk dijalankan. Suatu penghinaan ketika mengatakan aturan ada untuk dilanggar.

Kan’an putra tertua nabi Nuh as. celaka karena dia kembali kepada pengaturan dirinya sendiri dan tidak mengikuti pengaturan rencana Allah swt. yang Allah pilihkan untuk ayahnya dan orang-orang yang bersamanya di perahu.

Sebagaimana diabadikan di dalam firman Allah swt. nabi Nuh as. mengatakan,

وَهِيَ تَجْرِيْ بِهِمْ فِيْ مَوْجٍ كَالْجِبَالِۗ وَنَادٰى نُوْحُ ِۨابْنَهٗ وَكَانَ فِيْ مَعْزِلٍ يّٰبُنَيَّ ارْكَبْ مَّعَنَا وَلَا تَكُنْ مَّعَ الْكٰفِرِيْنَ

Bahtera itu berlayar membawa mereka dalam gelombang laksana gunung-gunung. Nuh memanggil anaknya, sedang dia (anak itu) berada di tempat (yang jauh) terpencil, “Wahai anakku, naiklah (ke bahtera) bersama kami dan janganlah engkau bersama orang-orang kafir.” (QS. Hud: 42)

Tapi apa jawab kan’an, dijawabnya, (QS. Hud: 43)

قَالَ سَاٰوِيْٓ اِلٰى جَبَلٍ يَّعْصِمُنِيْ مِنَ الْمَاۤءِ ۗ

Aku akan mencari perlindungan ke gunung yang dapat menghindarkan aku dari air

قَالَ لَا عَاصِمَ الْيَوْمَ مِنْ اَمْرِ اللّٰهِ اِلَّا مَنْ رَّحِمَ ۚ

(Nuh) berkata, “Tidak ada penyelamat pada hari ini dari ketetapan Allah kecuali siapa yang dirahmati oleh-Nya.”

وَحَالَ بَيْنَهُمَا الْمَوْجُ فَكَانَ مِنَ الْمُغْرَقِيْنَ

Gelombang menjadi penghalang antara keduanya, maka jadilah dia (anak itu) termasuk orang-orang yang ditenggelamkan.

Secara lhiriah, binasanya putra Nabi Nuh as. adalah karena topan (dan banjir). Sementara secara batiniah, dia binasa karena menolak dan mengabaikan apa yang telah diatur Allah swt.